Mentra – Kasus Kekerasan antar Pelajar dan Mahasiswa, akhir-akhir ini menjadi sorotan sekaligus isu yang hangat diperbincangkan.
Maraknya kasus kekerasan ternyata tidak hanya terjadi pada lingkup nasional saja, bahkan penyakit ini juga banyak terjangkit pada pelajar dan mahasiswa luar negeri.
Sebut saja kasus yang baru-baru ini terjadi, kekerasan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) antara Keluarga Kerukunan Sulawesi (KKS) dan Kelompok Studi Walisongo (KSW).
Upaya perdamaian sudah dilakukan, akan tetapi banyak pihak yang tidak mengindahkan upaya tersebut. Sehingga kekerasan menjadi isu sensitif untuk ditelik lebih mendalam.
Banyaknya pembelaan antar pihak juga mengeruhkan dan membiaskan kebenaran. Hal ini menyebabkan munculnya konflik dan emosi sosial publik. Pasalnya, kasus kekerasan yang terjadi pada oknum KKS bukan kali pertama, namun sudah kerap terjadi umumnya pada setiap tahunnya.
Menyikapi kasus kekerasan yang terjadi pada Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), PW PII Mesir mengadakan hari diskusi terbuka bertemakan “Kekerasan Pelajar, Tanggung Jawab Individu atau Lembaga?”.
Hal ini bertujuan agar masisir dapat memahami lebih dalam permasalahan tentang kekerasan diantara pelajar dan mahasiswa. Diskusi terbuka ini dilakukan pada Sabtu, 05 Agustus 2023 di Mabes PW PII Mesir.
Diskusi ini juga turut dihadiri oleh Protkons KBRI Mesir, Widia Nurjamilah yang juga merupakan kader PW PII Mesir. Dalam kata sambutannya, ia mengapresiasi keberanian PW PII Mesir dalam mengangkat tema sensitive yang saat ini memang sedang hangat diperbincangkan oleh Masisir.
Menurut Anugrah Abiyyu, Ketua Umum PW PII Mesir 2018-2020 sekaligus salah satu pembanding dalam diskusi, bahwa kultus diskusi harus hidup dalam aktifitas ber-PII, bukan hanya di ruang training saja.
“Semakin panas isunya, semakin semangat pula diskusinya,” ungkapnya.
Acara diskusi ini menghadirkan dua pemantik yaitu Fikry Haiqal Arief, Sekretaris Jenderal PB PII 2023-2025 dan Indri Raisa Hanum, Sekretaris Umum PW PII Mesir 2022-2023.
Dua pemantik ini tidak memfokuskan materi diskusi kekerasan dalam lingkup masisir, tetapi juga Nasional. Fikry menggaris bawahi tema diskusi dengan menganalogikannya seperti islamophobia, red (muslim bersalah, tetapi yang dianggap salah adalah islam).
Disis lain, Indri menilai bahwa keberagaman bangsa Indonesia kini malah menjadi boomerang munculnya perbedaan dan kekerasan. Beliau juga sangat menyayangkan, peran pemuda bangsa sebagai agen of change terkesan tercederai dengan adanya kekerasan yang terjadi antara pelajar dan mahasiswa.
Lubab Hud, sebagai pembanding juga mengutarakan bahwa perbedaan sangat erat kaitannya dengan toleransi. Menurutnya toleransi itu adalah membuka pendirian seterang-terangnya.
“Kemampuan menangkap realita, serta menghubungkan antara strerotip dan fakta menjadi bekal yang cukup krusial dalam menyikapi kekerasan,” ucapnya.
Lubab menambahkan, bahwa sesuatu yang diambil dalam keadaan tergesa-gesa dan dalam emosi kemarahan rentan akan melahirkan keputusan dan penilaian yang cacat.
Pada sesi akhir diskusi, menanggapi terkait pertanyaan yang diangkat pada tema dalam acara diskusi.
Anugrah Abiyyu menilai perlu adanya anjuran PK pada ketetapan BPA. Hal ini disebabkan terlihat ada banyak kurangnya terkesan cacat.
“Sampai saat ini pertanyaan itu bisa dijawab bebas atas perspektif masing-masing seseorang. Namun, ketika sudah tertulis dan dibakukan dalam konstitusi mekanisme hukum di Masisir, maka jawaban konkritnya mau tidak mau harus mengikuti kebijakan konstitusi yang berlaku,” tegasnya.
Dilain sisi, Fikry haiqal menilai yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi adalah individu. Lembaga fokus pada usaha preventif (pencegahan).
Indri menambahkan, kalau memandang kekerasan ini merupakan tanggung jawab lembaga.
“Siapa dan apa saja yang berkaitan dengan oknum kekerasan, maka mereka juga bertanggung jawab atas hal ini. Tidak hanya KKS sebagai lembaga terdekat, tetapi juga PPMI dan KBRI,” pungkasnya.
Abiyyu kembali menambahkan, sudah saatnya konstitusi mekanisme hukum terkait kekerasan ini segera dirumuskan dan diresmikan.
“Karena tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan pelajar dan mahasiswa di Masisir akan terulang kembali,” tutupnya.
Kekerasan yg terjadi ini disebabkan isu rasisme SARA yg dilakukan kepada pelajar Indonesia timur (KKS). Jadi tidak semata – mata kekerasan itu terjadi begitu saja dan SARA ini tiap tahun jg sering terulang.