Oleh : Nicholas Martua Siagian
Salah satu pilar utama dalam menciptakan pemerintahan yang baik, akuntabel, dan terpercaya adalah transparansi dalam penyelenggaraan negara. Transparansi berarti pemerintah terbuka kepada publik tentang kebijakan, pengambilan keputusan, dan penggunaan anggaran negara.
Masyarakat dapat mengawasi dan menilai kinerja pemerintah, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Transparansi membantu mengurangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika proses pemerintahan dapat dilihat oleh publik, pejabat publik akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya karena mereka tahu bahwa mereka diawasi. Ini menghasilkan lingkungan di mana kepentingan umum lebih penting daripada kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Penyelenggaraan negara yang bersih merupakan amanat konstitusi yang menjadi landasan utama dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum,” yang berarti bahwa seluruh tindakan pemerintah harus berlandaskan hukum yang adil dan tidak sewenang-wenang. Pemerintah dan penyelenggara negara berkewajiban menjalankan tugasnya berdasarkan konstitusi dan hukum yang berlaku, tanpa menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Hal ini mencakup kewajiban menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sebagai upaya untuk memastikan kesejahteraan rakyat secara merata.
Amanat Konstitusi tersebut kemudian dijabarkan lebih detail pelaksanaanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan teknis lainnya. Salah satu undang-undang yang berperan penting yang lahir dari buah reformasi adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
UU ini mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk bertindak jujur, transparan, dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Penyelenggara negara juga harus mempertanggung jawabkan seluruh tindakannya kepada publik, sebagai bentuk komitmen dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Bahkan buah reformasi yang saat ini masih terus dilaksanakan adalah adanya ketentuan mengenai kewajiban melaporkan harta kekayaan para penyelenggara negara, yang harus dilakukan secara berkala melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada aset yang diperoleh secara tidak sah selama masa jabatan atau penugasan.
Pelaksanaan LHKPN juga mengalami perubahan, dari yang sebelumnya berada di bawah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), hingga akhirnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kewenangan terkait pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara dipindahkan dari KPKPN ke KPK.
Sejak saat itu, KPK menjadi lembaga yang bertanggung jawab untuk mengelola LHKPN dan melakukan verifikasi atas laporan harta kekayaan pejabat negara. Dengan keberadaan independensi KPK, kewenangan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara harapannya dapat dilakukan lebih baik dari sebelumnya.
Meski demikian, pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara juga mengalami tantangan dalam pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait Kepatuhan LHKPN, jumlah wajib LHKPN Tahun Lapor 2023 per 01 April 2024 adalah 407,290 orang, dengan jumlah yang telah menyampaikan LHKPN sebanyak 391,705 orang sehingga tingkat pelaporan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut sebesar 96.17%.
Nilai tersebut cukup tinggi bukan? Bahkan hampir mendekati 100% yang kesimpulannya dapat dikatakan hampir seluruhnya penyelenggara negara taat dalam melaporkan hartanya. Kenyataanya, angka kepatuhan tersebut tidak sejalan dengan indeks lainnya. Seharunys angka kepatuhan LHKPN akan sejalan hasilnya dengan indeks lainnya seperti, Indeks Persepsi Korupsi (IPK), jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, hasil Monitoring Centre of Prevention (MCP) daerah, atau hasil Survei Penilaian Integritas (SPI), maupun indeks lainnya yang menunjukkan reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan berdasarkan pemeriksaan dan penelitian terhadap LHKPN 1.665 penyelenggara negara pada tahun 2021 menyatakan bahwa sebanyak 95% data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akurat dengan kekayaan semestinya.
Penelitian tersebut juga diperkuat dengan kenyataan yang terjadi di tahun sebelumnya, dimana berawal dari klarifikasi Rafael Alun Trisambodo mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya, hingga tidak selaras dengan penghasilannya sebagai penyelenggara negara yang laporkan. Penelitian dan Kenyataan tersebut memberikan sebuah hipotesis bahwa LHKPN masih perlu dibenahi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya tidak hanya melihat kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya, namun perlu mengidentifikasi keakuratan data yang dilaporkan, apakah ada kemungkinan harta yang disembunyikan, dipindahtangankan, atau bahkan dimanipulasi demi mengelabui aparat dalam melakukan pemeriksaan.
Artinya, kepatuhan pelaporan LHKPN juga tidak hanya sebatas kuantitas, namun kualitas yang dilaporkan sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya korupsi dan memperbesar upaya dalam melakukan penegakan hukum.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan yang serius terhadap LHKPN, adapun rekomendasi perbaikan yang diharapkan adalah:
- Perlunya sinkronisasi dengan lembaga keuangan. Sistem LHKPN dapat disinkronkan dengan data keuangan seperti pajak, perbankan, dan properti, sehingga dapat mempercepat verifikasi data kekayaan, dan mengurangi manipulasi.
- Sanksi yang lebih ketat untuk ketidakpatuhan dan ketidakakuratan. Tingkatkan sanksi untuk ketidakpatuhan atau laporan yang tidak akurat, termasuk denda yang lebih besar atau potensi diskualifikasi dari jabatan publik.
- Kewajiban Pelaporan Pasca Jabatan. Pejabat publik diharuskan untuk melaporkan kekayaan mereka dalam kurun waktu tertentu setelah mereka meninggalkan jabatan, guna mencegah penyembunyian kekayaan yang baru muncul setelah masa jabatan berakhir.
- Kerjasama dalam Transparansi Kekayaan Internasional. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga internasional untuk memantau kekayaan pejabat yang disimpan di luar negeri dan menelusuri aliran dana lintas negara yang mencurigakan.
Dengan demikian, dengan perbaikan keakuratan LHKPN dapat membantu masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi harta penyelenggara negara. Data LHKPN yang akurat nantinya dapat digunakan menjadi landasan untuk melaporkan penyelenggara negara melalui instrumen pelaporan yang telah disediakan seperti Survei Penilaian Integritas (SPI), Aplikasi Jaringan Pencegahan yang dikelola oleh KPK, maupun aplikasi pelaporan lainnya.
Perbaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan langkah krusial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. LHKPN yang transparan dan akurat tidak hanya menjadi alat pengawasan, tetapi juga cerminan integritas para penyelenggara negara dalam menjalankan amanah publik.
Dengan memperbaiki dan memperketat proses pelaporan serta pengawasan LHKPN, diharapkan dapat meminimalisir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sering kali menghambat pembangunan nasional.
Transparansi ini pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menciptakan iklim birokrasi yang lebih sehat, dan mendorong terciptanya pembangunan nasional yang berkelanjutan serta berkeadilan bagi seluruh rakyat.