MENTRA, Jakarta – Baru-baru ini, berdasarkan pernyataan yang dikutip dari MetroTV News, Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto, diyakini akan mempertimbangkan efektivitas menambah jumlah kementerian. Hal ini merespons isu penambahan kementerian untuk menampung seluruh partaipolitik (parpol) yang mendukung pemerintahan ke depan.
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Martua Siagian, menilai bahwa penambahan jumlah kementerian itu merupakan salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
“Pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dinilai sudah tidak relevan karena sejumlah urusan pemerintah yang diamanatkan UUD 1945 belum terwadahi. Nomenklatur kementerian perlu ditata ulang, termasuk menambah jumlahkementerian dari 34 menjadi 41,” kata Direk Nicholas saat ditemui tim Mentra.id, Selasa (17/9/2024).
Direk Nicholas, mengatakan, Asosiasi Pengajar HukumTata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) juga merekomendasikan adanya proporsionalitas jumlahkementerian koordinator, gagasan implementatif pembentukan kabinet ahli, serta keberadaan wakil menteri.
“Rekomendasi lain adalah penataan lembaga di lingkungan IstanaKepresidenan serta jabatan jaksa agung yang harus diisi nonpartai politik,” ujarnya.
Nicholas yang juga Tenaga Infrastruktur Kantor Staf Presiden (KSP) juga menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara pasal 15 disebutkan bahwa, “Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).” Hal tersebut juga diperjelas bahwa Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan penegasan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
“Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dandiberhentikan oleh Presiden. Hal tersebut dinamakan Hak Prerogatif Presiden, di mana Presiden memiliki kekuasaan atau hak yang sebagai kepala negara (dalam hal ini presiden) yang bersifat istimewa, mandiri, dan mutlak yang diberikan oleh konstitusi dalam lingkup kekuasaan pemerintahan,” jelasnya.
“Berdasarkan amanat UUD NRI Tahun 1945 dan UU tersebut, maka Presiden berhak untuk memiliki menteri yang akanmembantu Presiden dalam menjalankan program-programpemerintahan,” lanjut jelasnya.
Pemua lulusan Taplai LEMHANNAS RI tahun 2024 itu juga menuturkan, di samping kekuasaan Presiden yang tidak berbatas, konstitusi juga memberikan batasan kepada Presiden bahwa untuk melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara harus diatur dalam undang-undang.
“Karena dengan berdasarkan undang-undang ini secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara yang akanmembantu Presiden menyelenggarakan urusan pemerintahan. Jadi, hak presiden untuk menyusun kementerian negara samasekali tidak dikurangi, apalagi dihilangkan,” tuturnya.
Menurut Nicholas Martua Siagian, adanya wacana Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto untuk melakukan penambahan jumlah kementerian merupakan hak yang sah yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang kementerian.
“Namun, hak tersebut juga dibatasi bahwa penambahan kementerian yang diwacanakan haruslah berdasarkan undang-undang. Dan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa setiaprancangan undang-undang harus memiliki naskah akademik yang disertai dengan landasan pembentukan yang meliputilandasan filosofis, sosiologis, dan yuridis,” tambahnya.
“Oleh karena itu, diperlukan alasan yang kuat, valid, kredibel, serta ilmiah mengapa perlu melakukan penambahan kementeriansebagaimana kondisi bangsa Indonesia saat ini,” lanjut Bung Nicho sapaan akrabnya.
Lebih jelas, Nicho menyebutkan, dalam Buku yang ditulis oleh Tri Widodo Utomo tentang Inovasi Harga Mati bahwa, “Inovasi dan Reformasi adalah dua hal yang saling membutuhkan. Tanpa adanya inovasi,reformasi akan terasa kering, kaku, dan terlalu formal. Tanpa Program reformasi yang terstruktur, inovasi menjadi kurang bertenaga karena tidak didukung oleh kerangka kebijakanyang kuat.”
Undang-undang tentang Kementerian Negara ini adalah bertujuan melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 (tiga puluhempat). Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkanmelebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan. Oleh karena itu, penambahan jumlah kementerian sebagaimana yang diwacanakan haruslah berlandaskan reformasi birokrasi sebagaimana yangdiamanatkan dari bagian lampiran Undang-UndangKementerian Negara.
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Martua Siagian memaparkan bahwa dari sisi perencanaan keuangan negara, bertambahnya jumlah kementerian negarasebagaimana yang diwacanakan maka akan berdampak kepada penggendutan jumlah pos-pos pengeluaran dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Padahal saat ini jumlah kerugian negara karena tindak pidana korupsi juga didominasi oleh kementerian negara. Tantangan yang masih saat ini terjadi yang harus menjadi perhatian adalah pengadaan barang dengan harga tidak wajar akan menyebabkan kerugian keuangan negara, adanya transaksi yang memperbesar utang negara dampaknya kewajiban negara untuk membayar hutang semakin besar dan memberatkan keuangan negara, piutang negara berkurang tidak wajar juga dapat menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara, jual beli jabatan yang masih kerap terjadi, dan kerugian negaralainnya. Hal tersebut juga ditandai oleh Skor Indeks,” jelas Nicho.
Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia stagnan, ada di angka 34 pada tahun 2014 dan 2023. Dengan stagnasi tersebut, peringkat RI merosot lima tingkat dari 110 menjadi 115 dari total 180 negara.